Bijak di Usia 90, Blunder Tunjuk Pelatih dan Naturalisasi Gagal Tak Boleh Diulang PSSI

Mukhammad Najmul Ula - Minggu, 19 April 2020 | 15:14 WIB
PSSI punya sederet pekerjaan rumah di usia 90 tahun.
ISTIMEWA
PSSI punya sederet pekerjaan rumah di usia 90 tahun.

BOLANAS.COM - Memasuki usia 90 tahun, PSSI seharusnya mulai mempertimbangkan kebijakan naturalisasi dan tak lagi sembrono menunjuk pelatih.

Hari ini, Minggu 19 April 2020, PSSI yang dipimpin Ketua Umum Mochamad Iriawan memperingati hari jadi ke-90, lebih tua dari umur Republik Indonesia.

Jika diibaratkan manusia, PSSI seharusnya mencapai puncak usia kebijaksanaan dan dipenuhi pengalaman berharga di masa lalu.

Oleh karena itu, PSSI sebaiknya mulai mempertimbangkan kembali sejumlah kebijakan yang kontraproduktif dengan pengembangan sepak bola Indonesia.

Salah satu kebijakan yang mencolok dalam beberapa tahun terakhir ialah soal pergantian pelatih tim nasional.

Baca Juga: PSSI HUT Ke-90, Iwan Bule Singgung Target Pasca Pandemi Covid-19

Di masa lalu, pengurus PSSI yang baru terpilih di Kongres Luar Biasa di Solo pada 2011 tiba-tiba memecat Alfred Riedl.

Alfred Riedl padahal masih dielu-elukan publik sepak bola Indonesia berkat penampilan menawan di Piala AFF 2010.

Pengganti Alfred yang ditunjuk PSSI adalah pelatih asal Belanda, Wim Rijsbergen.

Hasilnya bisa ditebak, setelah hanya mencatat dua kemenangan, 3 seri, dan 6 kekalahan, Wim langsung dipecat pada Januari 2012.

Problem serupa juga terjadi dalam momen yang masih segar di ingatan.

Baca Juga: Usia PSSI Sudah 90 Tahun, Sepak Bola Indonesia Masih Belum Bisa Dibanggakan

Seusai tampil impresif di Asian Games 2018, kontrak pelatih Luis Milla tak diperpanjang oleh PSSI.

Padahal, timnas Indonesia akan berpeluh di Piala AFF 2018 hanya beberapa bulan berselang.

Bima Sakti yang ditunjuk dengan tergesa-gesa pun tak bisa berkutik, dengan pencapaian akhir empat poin dari empat pertandingan.

Pelatih permanen sesudah Bima Sakti, yaitu Simon McMenemy, pun berakhir tragis.

Ia dipecat bertepatan dengan dilantiknya kepengurusan PSSI 2019-2023.

Selain problematika pelatih, PSSI juga punya masalah menahun untuk urusan naturalisasi pemain.

Kebijakan naturalisasi Christian Gonzales yang sukses di Piala AFF 2010 memang terkesan menggiurkan.

Akan tetapi, berselang dua tahun, trio naturalisasi Johny van Beukering, Tonny Cussel, dan Raphael Maitimo berakhir mengecewakan.

Dari tiga nama tersebut, hanya Raphael Maitimo yang sanggup beredar di kasta tertinggi sepak bola Indonesia.

Persoalan administratif juga sempat timbul pada proses naturalisasi Ezra Walian. 

Pihak AFC mempermasalahkan status Ezra Walian yang sempat memperkuat timnas junior Belanda di Kualifikasi Euro U-17 2014. 

Baca Juga: Jaminan Juara, Ini Alasan Teco Sering Pakai Jasa Pemain Brasil

Pada beberapa musim belakangan, kebijakan naturalisasi seolah-olah disalahgunakan klub-klub.

Naturalisasi yang sedianya digunakan untuk mengangkat prestasi tim nasional, kini dikerahkan pihak klub untuk menggerus potensi pemain lokal.

Para pemain asing dengan usia renta, atau bahkan pemain asing yang sudah tak terdengar kiprahnya, tiba-tiba memperkuat klub Liga 1 meski tak menjadi pemain utama.

Nama-nama Mahamadou Alhadji, Onorionde K. John, Osas Saha, dan sederet nama lain yang sudah berkewarganegaraan Indonesia.

Sejauh ini, tak banyak dari pemain naturalisasi tersebut yang benar-benar berdampak bagi tim nasional.

Sebagai bahan refleksi, PSSI agaknya perlu meregulasi pembatasan pemain naturalisasi agar tak menggerus kesempatan pemain lokal.

Baca Juga: Program Latihan Persib Selama Ramadan, Wujud Keadilan Robert Alberts


Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.